Pendidikan adalah investasi
jangka panjang yang harus
ditata, disiapkan dan diberikan sarana maupun prasarananya.
Selain itu, kualitas pendidikan juga harus ditingkatkan seiring pesatnya arus informasi dan globalisasi yang membentuk pemahaman terhadap pendidikan yang semakin berkembang, sehingga menimbulkan inisiatif-inisiatif baru untuk pembentukan pribadi, bekal hidup serta pengembangan potensi dan prestasi anak.
Selain itu, kualitas pendidikan juga harus ditingkatkan seiring pesatnya arus informasi dan globalisasi yang membentuk pemahaman terhadap pendidikan yang semakin berkembang, sehingga menimbulkan inisiatif-inisiatif baru untuk pembentukan pribadi, bekal hidup serta pengembangan potensi dan prestasi anak.
Pentingnya fungsi lembaga pendidikan telah ditegaskan oleh bengsa Indonesia. Mengutip isi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 bahwa:
“Pendidikan
nasional berfungsi
untuk
mengembangkan
kemampuandan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Untuk mewujudkan fungsi pendidikan di atas, salah satunya adalah melalui pendidikan
Kewirausahaan.
Pendidikan Kewirausahaan memiliki arti penting dalam kehidupan dan
pembangunan suatu bangsa. Pendidikan
Kewirausahaan harus hadir
dalam semua
aspek pembelajaran. Keberadaan
pendidikan Kewirausahaan yang rendah atau
lemah,
menjadikan gerak
dinamika masyarakat dalam mengubah diri untuk mencapai kemajuan sangat
lambat. Kelemahan
negara-negara sedang yang
berkembang termasuk negara
Indonesia,
adalah lemahnya pendidikan Kewirausahaan.
Sebagai dampak kelemahan di bidang
kewirausahaan adalah fenomena pengangguran terdidik
yang besar.
Namun demikian, pendidikan Kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup. Banyak pendidik yang kurang
memperhatikan pertumbuhan sikap dan
perilaku kewirausahaan
sasaran didik, baik
di sekolah-sekolah
kejuruan maupun di pendidikan profesional.
Orientasi mereka, pada
umumnya baru pada
menyiapkan tenaga
kerja. Secara
historis masyarakat memiliki sikap feodal yang
diwarisi oleh penjajah Belanda, yang ikut
mewarnai orientasi pendidikan masyarakat. Sebagian besar
anggota
masyarakat mengharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab
dalam pandangan mereka
bahwa
pekerja
(terutama
pegawai negeri) adalah priyayi
yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat. Lengkaplah sudah baik pendidik
institusi pendidikan, maupun masyarakat,
memiliki persepsi yang sama terhadap harapan
output
pendidikan.[2]
Kehidupan
manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan kompleks. Keadaan ini
menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi
tanpa harus tergantung dengan orang lain dan berani menentukan sikap yang
tepat. Salah satu aspek penting yang diperlukan adalah mandiri dalam bersikap
dan bertindak.
Pesantren merupakan lembaga untuk
menumbuhkan kemandirian seseorang, yang mana di dalam pesantren para santri
hidup tanpa adanya orang tua seperti di rumah. Menurut
Basri (1995) kemandirian berasal dari
kata "mandiri",
yang dalam bahasa Jawa berarti berdiri sendiri. Basri (1995) menyatakan bahwa dalam arti
psikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya
yang mampu memutuskan atau mengeijakan sesuatu tanpa bantuan
orang lain.
Kemampuan
tersebut hanya
akan diperoleh jika
seseorang mampu untuk memikirkan secara seksama
tentang sesuatu yang dikeijakannya
dan diputuskannya,
baik
dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya.
B. Fokus
Masalah
Berdasarkan latar belakang,
serta untuk membatasi penulisan karya ilmiah ini maka penulis merumuskan focus
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kemandirian
santri-santriwati di PP. Falahul Muhibbin?
2.
Bagaimana pembinaan
kewirausahaan kepada santri-santriwati PP. Falahul Muhibbin?
3.
Apa Kendala Dalam Mengembangkan
kemandirian santri-santriwati di PP. Falahul Muhibbin?
C. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Dari rumusan masalah diatas,
maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut:
a.
Memperoleh
gambaran secara jelas tentang kemandirian
santri-santriwati di PP. Falahul Muhibbin
b.
Memperoleh
gambaran secara jelas tentang pembinaan
kewirausahaan kepada santri-santriwati PP. Falahul Muhibbin.
c.
Memperoleh
gambaran secara jelas tentang
Kendala Dalam Mengembangkan kemandirian
santri-santriwati di PP. Falahul Muhibbin.
2. Manfaat
penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat pnelitian ini adalah:
a.
Secara Teoritis
Skripsi ini penulis harapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dalam
dunia pendidikan, khususnya tentang pembinaan kewirausahaan Dalam Meningkatkan kemandirian
santri-santriwati. Sehingga dengan demikian dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap dunia pendidikan yang nantinya dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
b.
Secara Praktis
Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada penulis dan siapa saja
yang peduli terhadap kemajuan pendidikan Indonesia, terutama kepedulian
terhadap pengembangan kemandirian santri-santriwati di Indonesia dengan
pembinaan kewirausahaan di PP. Falahul Muhibbin.
D. Batasan
Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kesalahpahaman dan kekeliruan dalam menginterpretasikan judul ini, yaitu “UPAYA
MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SANTRI DENGAN PEMBINAAN KEWIRAUSAHAAN (Studi Kasus di
PP. Falahul Muhibbin Watugaluh, Jombang)” serta untuk memberikan kesamaan
persepsi antara penulis dan pembaca dalam memahami proposal ini maka penulis
perlu memberikan batasan operasional proposal ini sebagai berikut:
1.
Kemandirian
Kemandirian merupakan isu psikologi yang muncul dan
muncul kembali dalam seluruh siklus kehidupan individu[3].
Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg
(1995) istilah independence dan autonomy sering disejajarartikan secara silih
berganti (interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski
secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian,
tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda. Secara
leksikal independence berarti kemerdekaan atau kebebasan (Kamus
Inggris-Indonesia).
Secara konseptual independence mengacu kepada
kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg menyatakannya
independence generally refers to individuals’ capacity to behave on their
own. Berdasarkan konsep independence ini
Steinberg menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapai independence ia mampu
menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh
kontrol orang lain terutama orang tua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil
ia langsung pergi ke toilet, tidak merengekrengek meminta dibantu buka celana
atau minta dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang mengarah kepada konsep
independence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa
remaja, hanya saja autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai.
Steinberg menegaskan the growth of independence is surely a part of becoming
autonomous during adolescence. [4]
Hanna Widjaja (1986), mengemukakan tiga istilah yang
bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy,
kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk
bersaing dengan individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk
pada suatu taraf mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggung jawab
atas tindakantindakannya.
Istilah autonomy
seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan
bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan
bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal
dalam perspektif Hanna Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya,
kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang
lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri
kegiatan-kegiatan, dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang
dihadapi. Dalam pandangan Lerner (1976),
konsep kemandirian (autonomy) mencakup kebebasan untuk bertindak, tidan
tergantung kepada orang lain, tidak terpengaruh lingkugan dan bebas mengatur
kebutuhan sendiri. Konsep kemandirian ini hampir senada dengan yang diajukan
Watson dan Lindgren (1973) yang menyatakan bahwa kemandirian (autonomy) ialah
kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha, dan
melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
2.
Santri
Santri berasal dari kata sastri, sebuah kata dari
bahasa sansekerta yang artinya “melek huruf” alias bisa membaca. Pendapat
selanjutnya menyatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa
jawa, dari kata cantrik, yang berarti “seseorang yang selalu mengikuti
gurunya kemanapun gurunya pergi/menetap.”[5]
3.
Kewirausahaan
Wirausahawan adalah seorang inovator, sebagai individu yang mempunyai naluri untuk melihat-lihat
peluang, mempunyai semangat, kemampuan dan
pikira
untuk menaklukkan
cara berpikiran
malas dan
lamban. Seorang wirausahawan mempunyai peran untuk mencari kombinasi-kombinasi baru, yang merupakan gabungan dari lima hal, yakni: a. pengenalan barang; b. metode produksi baru; c.
sumber bahan mentah
baru; d. pasar-pasar
baru;
e.
organisasi industri baru.[6]
1
Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Bandung: Fokusmedia, 2006), hal. 5-6.
[3] Steinberg, Laurence. Adolescene.
Sanfransisco. McGraw-Hill Inc. 1995, hal 286
[5] Nurcholish madjid, Bilik-bilik Pesantren,
sebuah potret Perjalanan,(Jakarta: Paramadina. Mastuhu, 1999), 19-20
[6] Alma, Buchari. Kewirausahaan. (Bandung:
Alpabeta), hal 5
No comments:
Post a Comment