PROBLEMMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM
Latar Belakang Masalah
Agama Islam yang diwahyukan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam agama Islam terkandung suatu potensi
yang mengacu kedua fenomena perkembangan, yaitu; (1) potensi psikologis
dan pedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang
berkualitas dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya, (2)
potensi pegembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang
dinamis dan kreatif serta responsive terhadap lingkungan sekitarnya[1][1].
Untuk mengaktualisasikan dan
memfungsikan potensi tersebut, maka diperlukan usaha kependidikan yang
sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan wawasan yang interdisipliner.
Karena manusia semakin terlibat ke dalam proses perkembangan sosial itu sendiri
menunjukkan adanya interelasi dan interaksi dari berbagai fungsi.
Agama Islam yang membawa nilai-nilai
dan norma-norma kewahyuan bagi kepentingan hidup manusia di atas bumi, baru
aktual dan fungsional apabila di internalisasikan ke dalam pribadi melalui
proses kependidikan yang konsisten, terarah kepada tujuan. Oleh karena itu
proses kependidikan Islam memerlukan konsep-konsep yang pada gilirannya dapat
dikembangkan menjadi teori-teori yang terpuji dan praksisasi dilapangan
operasional. Bangunan teoritis kependidikan Islam itu akan berdiri tegak diatas
fondasi pandangan dasar yang telah diwahyukan oleh Tuhan. Wahyu-Nya terus
berkembang mengacu kepada tuntunan masyarakat yang dinamis-konstruktif menuju
masa depan yang sejahtera dan maju.
Dengan demikian, pendidikan Islam
diharapkan tidak saja sebagai penyangga nilai-nilai, tetapi sekaligus sebagai
penyeru pikiran-pikiran produktif dan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman.
Pendidikan Islam diharapkan tidak saja memainkan peran sebagai pelayan rohaniah
semata, yaitu fungsi yang sangat sempit dan suplementer, tetapi juga terlibat
dan melibatkan diri dalam pergaulan global[2][2].
Paul Tillich berpendapat
bahwa setiap sistim pendidikan, idealnya memiliki orientasi yang bertujuan
mengharmonikan tiga hal sekaligus[3][3], yaitu
teknis, humanistis, dan induktif. ketiga hal ini sistim pendidikan Islam yang
ada diharapkan tidak saja “melek” terhadap teknologi dan informasi, tetapi juga
melapisi diri dengan kesadaran religius agar tidak terjadi split personality
dan split integrity oleh penetrasi perkembangan global yang menyusup ke
seluruh ruang kehidupan manusia. Namun, massivitas (keseluruhan) fenomena teknologi
informasi global ini tidak seluruhnya mampu diserap oleh sistim pendidikan
Islam khususnya dan umat Islam pada umumnya. lembaga-lembaga pendidikan Islam
seperti madrasah dan pesantren sebagai artikulasi sistim pendidikan Islam di
Indonesia, kiranya mengalami ketertinggalan lebih jauh bila dibandingkan dengan
sistim pendidikan modern di negara-negara lain, misalnya Malaysia, Singapura,
Australia dan apalagi Amerika.
Suatu ironi yang harus diakui umat
Islam bersama luasnya konsep al-Qur’an tentang pendidikan adalah pelekatan
identitas tertinggal, terbelakang dan miskin identitas. Ketertinggalan itu
sedikitnya bisa dilihat dari eksistensi madrasah dan pesantren yang dulu
memiliki peran strategis dalam menghantarkan pembangunan masyarakat Indonesia,
kini antusias masyarakat untuk memasuki pendidikan madrasah dan pesantren mengalami
penurunan yang cukup drastis. Kecuali pada pesantren yang mampu melakukan
adaptasi dengan perkembangan global. Sikap pesimisme masyarakat terhadap
pendidikan madrasah dan pesantren bisa dilihat dari adanya kekhawatiran
universal terhadap kesempatan lulusannya memasuki lapangan kerja modern yang
hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kemampuan keterampilan dan penguasaan
teknologi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah
tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
problematika pendidikan Islam masa kini dan masa datang ?
2. Bagaimana prospek
pendidikan Islam masa kini dan masa datang
PEMBAHASAN
A. Problematika
Pendidikan Islam masa Kini dan Masa Datang
1. Problematika Dasar Pendidikan Islam
Ketertinggalan pendidikan Islam
telah sedemikian parahnya. Hal ini mengundang keprihatinan yang mendalam dan
menyisahkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
melatar belakangi keadaan tersebut. Seperti; apakah karena adanya SDM ? ataukah
karena adanya aspek-aspek yang terkait dengan
persoalan teologi dan kultur masyarakat muslim Indonesia yang cenderung
jumud dan ortodoks ? Ataukah akibat dari problem strukturalis yang
diskriminatif terhadap keberadaan pendidikan Islam yang lulusannya cenderung
tidak produktif ? Atau mungkin karena akumulasi dari berbagai persoalan
tersebut ?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut, sebenarnya pada masa lampau
pendidikan Islam pernah menjadi tumpuan utama bagi masyarakatnya dan
perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat
pada masanya. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam
bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh
para penyebar islam yang kemudian berkembang menjadi pengajian di
langgar-langgar, masjid dan pondok pesantren. Pendidikan Islam memang dapat
diterima seiring dengan jalannya pertumbuhan Islam pada waktu itu.
Demikian pula pada masa kolonial
Belanda dan Jepang, sistim pendidikan Islam tetap bertahan dan dapat
menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan. Namun, pasca era kemerdekaan
sampai sekarang dinamika pertumbuhan sistim pendidikan Islam cenderung menurun
dan kurang dapat mengimbangi kebutuhan obyektif masyarakat, sebagaimana yang
dikatakan AM Saefuddin sebagai berikut: “Pada masa selanjutnya muncullah
bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan materi pendidikan agama kedalam
kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh kolonial Belanda. Pada masa
selanjutnya, yakni ketika bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan, maka
bentuk-bentuk sistim pendidikan Islam baik pesantren, madrasah maupun
disekolah-sekolah umum terus berlanjut, tetapi dengan perkembangan yang
tampaknya menunjukkan ketertinggalan dari perkembangan masyarakatnya sendiri [4][4].
Namun apapun yang terjadi, cara
pandang yang terlalu merendahkan martabat pendidikan Islam jelas kontra
produktif, apalagi hal yang menjadi tolak ukur adalah kemajuan di Barat.
Ketertinggalan dalam pendidikan Islam haruslah dilihat sebagai tantangan. Orientasi
ini menjadi demikian penting agar terhindar dari munculnya problem baru yang
lebih serius. Artinya, apabila melihat ketertinggalan pendidikan Islam ini
dengan rasa rendah diri, maka dengan sendirinya telah mengawali problem baru.
Ada beberapa hal yang dianggap
sebagai tantangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: Pertama adalah
pengembangan potensi manusia. Mengembangkan potensi manusia dalam pandangan
pendidikan Islam merupakan tantangan yang bersifat holistik, berkesinambungan
dan tanpa akhir. Kedua, membahas tentang kegagalan dari para pemikiran
Barat dalam membangun konsep tentang sifat asal manusia yang tidak dipandu oleh
wahyu[5][5]. Ketiga,
membahas tentang tantangan budaya fatalistik dari kaum muslimin sendiri. Keempat,
membahas tentang munculnya ancaman di era abad 21, yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor perubahan sosial[6][6].
2. Problematika
Institusional Kekinian
Perubahan sosial yang terjadi secara
simultan dalam masyarakat, pada gilirannya akan merangsang munculnya berbagai
permasalahan dalam lembaga pendidikan Islam, diantaranya adalah problem lulusan
LPI dengan tuntutan dunia industri, kualitas SDM dan lingkup LPI, masalah
keilmuan Islam yang dilematis dan ambivalensi penyelenggaraan pendidikan Islam.
Semua hal tersebut merupakan permasalahan-permasalahan
yang sangat penting untuk segera dicarikan solusinya. Namun, problem yang lebih
mendasar untuk dipecahkan adalah dua persoalan terakhir, karena kedua persoalan
itu dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa kini
maupun masa datang. Apabila kedua problem tersebut kurang mendapat tanggapan
dimungkinkan masa depan pendidikan Islam hanya tinggal nama, karena telah
ditinggalkan oleh masyarakat yang aktif mengikuti perubahan.
a. Keilmuan
Islam yang Dilematis
Masalah keilmuan Islam secara historis
prespective dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya
rekontruksi pemikiran Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus
besar itu adalah warisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam
metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam
tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan
akses negatif terhadap epistemologi keilmuan dalam Islam, pintu ijtihad pun
tertutup. dampak dari stagnasi pemikiran tersebut membawa dunia Islam dalam rentang
waktu yang cukup lama hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar
berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah), termasuk dalam bidang penafsiran maupun
dalam bidang muamalat. Dalam bidang penafsiran Islam memang dapat memunculkan ribuan
jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya. Namun, sayang sebagian
besar berisi pengulangan yang ada. sebagaimana juga dijelaskan Nasr hamid Abu
Zaid tentang keadaan tersebut sebagai berikut: “pada saat ini sikap dan wacana
keagamaan kontemporer terhadap ilmu- ilmu
al-Qur’an dan demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah sikap pengulangan. Hal ini
terjadi karena diantara ulama ada yang mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu
tersebut masuk dalam ilmu yang sudah matang dan sudah selesai, sehingga generasi
kemudian tidak lagi memiliki apapun seperti yang dimiliki oleh generasi tua[7][7].
Nasr
hamid Abu Zaid menambahkan bahwa stagnasi pemikiran di dunia Islam ini
dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai peradaban teks (Hadharah al-Nash).[8][8] Peradaban
teks menurutnya merupakan sebuah peradaban dimana teks menjadi semacam poros
penggerak serta sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan.[9][9]
dalam peradaban demikian, tafsir teks menjadi semacam kebutuhan utama dari
waktu ke waktu senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah Islam. Oleh
karena itu, Islam dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai
corak dan metode, mulai dari tahlili sampai maudhu’i. Peradaban
demikian akhirnya membawa implikasi luas serta memungkinkan terciptanya kultur
yang serba berdimensi teks, termasuk dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu
diukur dengan letterleks teks, tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun
manusia memungkinkan dapat memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian
dengan daya nalarnya, ia tetap harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau
ia gagal dalam merujuk, maka apa yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal pula.
Sedangkan dampak kedua arus tersebut dalam dunia pendidikan Islam adalah
terjadinya transformasi pada paradigma ilmu pendidikan Islam beserta
epistemologinya dari Islamic education of islamic menjadi Islamic
education for Moslem.
b. Ambivalensi (dikotomi) Penyelenggaraan
Pendidikan Islam
Sistim
pendidikan Islam sampai saat ini dirasa masih bersifat ambivalensi. Sifat
ambivalensi yang dimaksud adalah model penyelenggaraan pendidikan agama di
Indonesia mengalami ketimpangan, dimana di satu pihak pendidikan agama yang
diterapkan disekolah-sekolah umum hanya sekedar pelengkap, sedangkan penyelenggaraan
pendidikan yang dilaksanakan pada sistim pendidikan Islam (pesantren) kurang
mengembangkan penguasaan disiplin ilmu (sains dan teknologi) dan keterampilan.
Ada anggapan yang berkembang selama ini bahwa penguasaan disiplin ilmu dan
keterampilan hanya garapan sistim pendidikan umum.
A.
M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim madrasah dan apalagi sekolah dari PT
Islam yang membagi porsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan
umum dalam prosentase tertentu telah terbukti mengakibatkan bukan saja
pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya kepada tujuan Islam yang
membentuk manusia takwa, tapi juga tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang
bersifat sekuler. Sementara itu keadaan pendidikan Islam di sekolah PT umum,
lebih jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya berfungsi sebagai pelengkap
yang menempel bagi orientasi pendidikan sekuler[10][10].
Keadaan
itu timbul akibat adanya pandangan dikotomi yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang
mengajarkan kesatuan dunia-akhirat, dimana ilmu-ilmu dunia adalah bagian dari
ilmu-ilmu agama yang tidak boleh dipisahkan dengan pandangan dikotomis serta orientasi
yang ambivalen. Apabila keadaan ini tetap dibiarkan, maka dapat dipastikan sistim pendidikan
Islam hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang makin jauh dari cita-cita
pendidikan Islam sendiri.
Perbedaan
itu terjadi karena, selain sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah
perbedaan titik tolak. Jika ilmu agama berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu
umum berangkat dari keraguan. Sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak seluruhnya
benar, karena masing-masing menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam
menemukan kebenaran sejati. Mengembalikan pemahaman parsial adanya dualitas
keilmuan ini ke arah integrasi kiranya membutuhkan keberanian serius dari
pelbagai kalangan, pembacaan ulang visi, misi dan orientasi sistim pendidikan adalah
suatu yang urgen bila tidak ingin terjebak pada pengulangan tradisi yang tak
memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan kekinian dan masa depan. Sekalipun persoalan
yang mendasar bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada
bagaimana menanamkan pemahaman holistik (kaffah) terhadap ajaran agama
yang universal dan kosmopolit. Karena didalam ilmu sebenarnya tidak mengenal
dikotomi dan disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin
cepat, kompetitif dan berkualitas. Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam
sesungguhnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum
beriman untuk senantiasa ber-tafakkur (QS. Ali-Imran (3): 189-190) dan
ber-tasyakkur (QS. An-Nahl (16): 114. Perintah memikirkan segala ciptaan
Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukum-Nya di dalam al-Qur’an
mengandung pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran
Tuhan.
Jadi,
orientasi sains dan teknologi sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an
bagi terbentuknya ulul al-bab, yaitu seseorang yang dengan fikir dan
zikirnya mampu melahirkan gagasan-gagasan imajinatif bagi peradaban manusia dan
lingkungannya, disamping memberikan penekanan pada nilai dan moral.
dengan
demikian, tetaplah harus ditegaskan bahwa tanpa landasan nilai-nilai agama,
maka ilmu pengetahuan dan teknologi justru akan menjadi bumerang bagi manusia
sendiri, karena itu persoalan kini adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut dapat menjadi milik yang dapat dikembangkan tanpa merasa khawatir
akan efek bumerang dan terpecahnya kepribadian manusia oleh pandangan-pandangan
dikotomis. Jalan yang kini terlihat menjadi titik terang adalah dengan
melakukan proses Islamisasi sains dan teknologi.
kondisi
semacam ini tentu saja harus dibaca sebagai tantangan yang harus segera diantisipasi secara lebih matang dan terencana
serta dituntut untuk memunculkan inovasi-inovasi[11][11]
baru dan mendalam dari masyarakat akademik maupun yang lainnya, agar pendidikan
Islam tetap bisa diterima oleh masyarakat yang juga terus menerus berubah.
Sejalan
formulasi dan pemikiran kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari
ikatan-ikatan konteks lingkungan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta
agama, disamping unsur internal seperti
bakat dan potensi yang merupakan unsur ketergantungan eksistensi pendidikan
Islam. Imam Tholkhan berpendapat bahwa
problmatika pendidikan Islam kini dan masa datang, antara lain:
Pertama, kurangnya kemampuan para lulusan (out
puts) dari lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah, pesantren serta
perguruan tinggi Islam di dalam menelaah teks-teks klasik secara utuh yang
sebenarnya merupakan bagian integral dari kajian pokok yang harus dipelajari.
Para lulusan madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut
dari akar-akar tradisi, nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak semua lulusan lembaga
pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-fungsi layanan terhadap umat Islam,
tak terkecuali hal yang paling mendasar dan memasyarakat seperti memimpin
berbagai ritual keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan lulusan lembaga pendidikan Islam hanya
berpikir normatif atau cenderung berpikir melalui kaedah keagamaan (deduktif)
dan kurangnya mereka memahami konteks dan substansi empiris dari persoalan-persoalan
keagamaan dan sosial yang dhadapi (induktif). Keempat, sistim pendidikan
Islam yang ada sampai dewasa ini masih dinilai belum bisa menghasilkan manusia-manusia
kompetitif di era global yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima,
posisi pendidikan Islam selalu diletakkan pada posisi marginal atau under
class. Keenam, para lulusan lembaga pendidikan Islam belum terlatih
untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang baru, baik dalam
konteks kultur nasional maupun antar kultur, sebaliknya mereka hanya terlatih
untuk menghafal dan mengulangi kembali pengetahuan yang baku dan kaku yang
keberadaannya kurang relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ketujuh,
para lulusan lembaga pendidikan Islam cenderung bersifat eksklusif dan belum
mampu bekerja secara profesional. Kedelapan, adanya stigma bahwa lembaga
pendidikan Islam itu sektarianisme yang dibungkus dengan kerangk ideologis,
paham, dan kepercayaan serta kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kesembilan,
sistim pendidikan Islam cenderung milik perseorangan atau kelompok tertentu
dari pada milik bersama atau masyarakat.
Malik
Fajar berpendapat bahwa untuk memecahkan problematika dunia pendidikan
Islam sebagaimana digambarkan tersebut, maka perlu mengadakan konsep
pendekatan, sebagai berikut:
1. Macrocosmis (tinjauan makro), yakni
pendidikan Islam dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih
luas.
2. Microcosmis (tinjauan mikro), yakni
pendidikan Islam dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup di mana
terdapat interaksi di dalam diri sendiri[12][12].
Hal ini berdasarkan surat Keputusan Bersama Tiga Menteri[13][13]
Dan beliau menambahkan bahwa untuk menatap masa depan pendidikan Islam di
Indonesia yang mampu memainkan peran strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa,
perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan
masalah-masalahnya secara mendasar serta
menyeluruh. Hal yang mendasar tersebut, antara lain: (a) kejelasan antara yang dicita-citakan dengan
langkah operasionalnya (b) penguatan
dibidang sistim kelembagaannya (c) perbaikan/pembaruan dalam sistim pengelolaan atau manajemennya[14][14].
Kalau ketiga hal ini bisa dibenahi, maka dunia pendidikan Islam akan terhindar
dari kesibukan “semu” dan setahap
demi setahap akan bisa memenuhi pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a “Didiklah anak-anak kalian
dengan hal-hal yang tidak seperti yang kalian pelajari diajarkan. Sesungguhnya
mereka itu diciptakan dalam zaman yang berlainan dengan zaman kalian. Artinya, suatu
lembaga pendidikan harus membentuk wadah akomodatif terhadap aspirasi
masyarakat pendidikan yang berorientasi ke masa depan.
B. Prospek Pendidikan
Islam Masa Kini dan Masa Datang
Meyakini pendidikan sebagai upaya
yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia
dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk
menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran,
yaitu:
1. Dari segi ajaran
agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih
keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati
oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang bukan Islam. Yaitu untuk
meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih dari itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu
pengetahuan itu sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus,
yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau
merujuk kepada sabda Rasulullah SAW: Barang
siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan
ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul
pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR. Ahmad)
2. Dalam perkembangan
sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi kemajuan ilmu
pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan ilmu pengetahuan
yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia Islam. Karena memang
diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula menyebarkan pemikiran Yunani
klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat
dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam oleh dunia Barat
adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para sarjana Islam terhadap
karya Yunani klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya pemurtadan
terhadap filosof Islam lantaran menggandrungi pemikiran Yunani klasik tersebut.
3. Umat Islam
Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya. Lembaga yang
dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai
harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh
mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan lembaga-lembaga
pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan. Untuk itu,
kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari akan posisinya
dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan dirinya sebagai
“Bank” sumber daya manusia itu.
Disamping itu dalam era globalisasi
ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan
saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi
itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan
manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Adapun peluang sistim pendidikan
Islam di Indonesia, antara lain:
a. Sistim pendidikan
Islam Indonesia tidak mendominasi sistim pendidikan Nasional, karena ajaran Islam secara filosofis tidak
bertentang dengan filosofis hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep penyusunan
sistim pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang
menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
b. Pancasila sebagai
asa bernegara secara filosofis menjadi landasan filsafat pendidikan.
c. Semakin
berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana
baru untuk memperkokoh wacana tersebut[15][15].
Dengan demikian dilihat dari segi
ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia
menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan
secara politik pendidikan Indonesia
menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan
kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai
pada zaman klasik.
[3][3]Tujuan
teknis artinya pendidikan diorientasikan kepada kemahiran dan keahlian (skill),
seperti kerajinan tangan dan seni, membaca, menulis, aritmatika dan hal lain
yang berkenaan dengan kemampuan peserta didik menggunakan alat-alat dengan
cekatan. Tujuan humanistik adalah sikap disiplin, penundukan pada tuntunan-tuntunan
obyektif bagaimana mengolah partisipasi dan integrasi didalam pergaulan sosial
dan pemanfaatan secara maksimal semua potensi manusia secara individual dan
sosial. Sedangkan tujuan induktif adalah bagaimana membangun peserta didik ke
arah kesadaran akan tradisi, simbol dan nilai serta kepercayaan yang dipegangi
bersama sehingga terjadi proses internalisasi dan inkulturasi.
[11][11]Mengenal
inovasi dalam upaya peningkatan mutu dan pembaharuan dalam bidang pendidikan,
antara lain diperlukan: modernisasi management pendidikan, modernisasi
guru-guru, modernisasi proses belajar, diperkuat anggaran belanja pendidikan.
lihat, Muljanto Sumardi, Pendidikan Islam, Bunga Rampai Pemikiran Madrasah
dan Pondok Pesantren, (Penerbit: Pustaka Biru, Jakarta, 1980), h. 19
No comments:
Post a Comment