BAB I
PENDAHULUAN
TUGAS SPI
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan memainkan peranan yang penting dalam pembangunan dan kemajuan
sebuah masyarakat. Maju atau mundur sebuah masyarakat adalah bergantung kepada
maju atau mundurnya pendidikan masyarakat tersebut. Oleh itu, pendidikan amat
penting dan harus diberi keutamaan dalam mencapai pembangunan masyarakat.
Dengan pendidikan, sebuah masyarakat dapat mencapai akhlak yang tinggi.
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kemasyarakatan
dan individu. Tugas ini hanya menekankan kepada aspek individu.
Istilah pendidikan berbeda dengan pengajaran karena pendidikan dapat
membantu pertumbuhan sahsiah secara menyeluruh di dalam diri seseorang tetapi
pengajaran hanya dapat melatih seseorang individu melakukan sesetengah tugas
dengan cakap. Di sini, jelas menunjukkan bahwa peranan pendidikanlah yang
membantu ke arah pembangunan bukan pengajaran semata-mata.
Pendidikan islam merupakan usaha pemindahan nilai-nilai yang bersumber
wahyu dan ijtihad agar nilai-nilai tersebut dapat berkembang dalam masyarakat
dan terjadi kesinambungan ajaran-ajaran islam di masyarakat. Pendidikan terjadi
setiap generasi dan berurutan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Proses
pendidikan islam berbeda dari satu generasi
Pendidikan islam yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan pendidikan
islam pada masa ini. Hal tersebut dikarenakan situasi dan kondisi juga
persoalan yang dihadapi berbeda. Apalagi jika kita membayangkan pendidikan
islam yang akan datang. Maka dari itu kita harus mempersiapkan pendidikan islam
agar mampu bersaing dengan pendidikan yang lainnya dalam rangka menghadapi masa
depan yang penuh dengan tantangan.
Untuk itu penulis membahas pendidikan islam menatap masa depan agar dapat
dilihat kesiapan pendidikan islam untuk bersaing dengan pendidikan yang
lainnya.
- RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Lalu?
- Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Sekarang?
- Dimana saja Lembaga Pendidikan terjadi?
- TUJUAN PEMBAHASAN
- Untuk Mengetahui Pendidikan Islam Pada Masa Lalu
- Untuk mengetahui Pendidikan Islam Pada Masa Sekarang
- Untuk Mengetahui Lembaga Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
- Pendidikan Islam Pada Masa Sekarang
Jika kita melihat kondisi pendidikan islam
sekarang kita dapat melihat pendidikan islam yang terjadi di negara kita,
sebelum kita melihat lebih jauh kita uraikan islam yang berkembang dan terjadi di Indonesia. Islam yang ingin kita
kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita
berbicara masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas,
demokratis dan toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future
oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi
ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita
kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada masa sekarang hal
inilah yang perlu kita kembangkan agar pendidikan islam dapat bersaing dengan
yang lainnya.
Kebijakan konvergensi yang
diambil Departemen Agama (Depag) dengan memperkecil perbedaan antara pola
pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam
secara malu-malu kucing. Atau meminjam istilah Karel Steenbrink: “menolak
sambil mengikuti.” Pendidikan Islam pada akhirnya juga melakukan proses adaptasi
dengan mengembangkan sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih permanen dan
sistem klasikal. Pada titik inilah, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta, Prof Azyumardi Azra, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi
pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan zaman.
Bagi Azyumardi, lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman,
kemoderenan dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan zaman.
Saat ini, pendidikan Islam
menghadapi tantangan berat. Dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk
memberikan kontribusi bagi kemoderenan. Dalam sepuluh atau lima belas tahun
belakangan ini, state of affair atau keadaan pendidikan Islam terlihat lebih
baik. Sebab pada tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi, pendidikan
Islam semakin include atau masuk dalam mainstream pendidikan. Kita lihat
misalnya, tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah, sudah
mengikuti kurikulum nasional. Dengan demikian, aliyah tidak lagi khusus mengaji
atau mendalami masalah-masalah keagamaan sebagaimana dulunya. Namun, sudah ada
madrasah yang sudah mendirikan jurusan IPA, sosial, vocational, keterampilan
dan lain-lain, di luar keberadaan madrasah khusus keagamaan.
Perkembangan modernisasi
pendidikan Islam yang telah dicanangkan sejak Menteri Agama Prof. DR. Mukti Ali
sampai sekarang ini sudah terjadi. Dengan masuknya pendidikan agama/madrasah ke
dalam mainstream, anak-anak bangsa yang belajar di madrasah kemudian menjadi
lebih terdiversifikasi dan mereka tersiapkan untuk menjadi calon-calon ilmuwan,
selain menjadi calon-calon ulama melalui program aliyah khusus. Perkembangannya
kemudian, terjadilah keragamaan. Dan keragaman ini tentu sangat penting bagi
umat Islam, karena tendensi globalisasi —mau tidak mau— menuntut terjadinya
diversifikasi dan diferensiasi keilmuan, struktural dan lain-lain. Oleh karena
itu, pendidikan Islam harus terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional.
Dan keragaman-keragaman yang ada itu, diharapkan memberikan respon terhadap
keragaman yang terjadi di dalam bidang kehidupan ini, termasuk pada bidang
sains dan teknologi.
Pendidikan Islam di
Indonesia sudah dapat memenuhi tuntutan tradisi dan kemodernan sekaligus dan
hal itu penting ditekankan, meskipun madrasah aliyah ada yang berprogram umum
IPA dan IPS, inti atau core yang melandasi pengajaran dan pembelajaran di situ,
tetap ilmu-ilmu Islam.
Produk akhir dari pendidikan islam sekarang ini
adalah orang yang di dalam dirinya terintegrasi keislaman, keindonesiaan dan
kemanusiaan. Itu yang menjadi tiga kata kunci. Sebab, walau bagaimana pun,
mayoritas masyarakat Indonesia muslim, tentu saja Islam menjadi part of parcel
atau bagian integral dari paket kehidupan mereka. Oleh karena itu, sulit
mengingkari kenyataan bahwa Islam selalu mewarnai mereka. Untuk itulah
nilai-nilai keislaman perlu dikembangkan
dalam diri para pelajar ini.
Islam yang dikembangkan
adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita berbicara
masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan
toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak
backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas.
Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Model keislaman kompatibel sudah berkembang. IAIN
yang kompatibel dengan modernitas itu sudah dikembangkan sejak masa (alm) Prof.
Dr. Harun Nasution yang sangat menekankan masalah rasionalitas di dalam
beragama. Jadi, keislamannya tidak sekedar mengikut (taklid, Red) atau lebih
didorong sikap emosional. Islam yang dikembangkannya adalah Islam yang
rasional, juga yang non-mazhabi atau tidak cupet. Dulunya, kecenderungan
keberagamaan masyarakat kita —katakanlah pada masa pra-kemerdekaan hingga
awal-awal kemerdekaan— lebih bersikap mazhabi atau fiqh-oriented dan berpegang
pada fanatisme kemazhaban.
Dua pendapat tentang
pendidikan Islam ini, sudah klasik terdengar. Dalam menyikapi itu, masyarakat
kita terbagi menjadi dua kubu: pendapat pertama sangat menekankan pendidikan
agama, dan kedua, berpendapat bahwa lembaga pendidikan Islam harus merespon
kemajuan ilmu dan teknologi. Penekanannya adalah bahwa pendidikan agama memang
sangat penting. Selama ini, di lingkungan perguruan tinggi Islam semacam IAIN
atau UIN, memang mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih jurusan apa pun,
baik murni agama semacam al-akhwal al-syahsiyah dan tafsir-hadits maupun
jurusan-jurusan umum semacam IT (informasi dan teknologi), ekonomi dan lain
sebagainya.
Pendidikan agama bukan hanya tanggung jawab
lembaga-lembaga pendidikan Islam, tapi lebih utama adalah tanggung jawab
keluarga. Ini sangat penting. Oleh karena itu, saya kira tidak mungkin kita
mengharapkan pendidikan agama hanya diselenggarakan di sekolah. Sebab seberapa
pun diberikan oleh sekolah, hal itu tetap tidak memadai. Karena itu, pendidikan
agama pertama kali harus dimulai dari rumah dan masyarakat atau komunitas
masing-masing. Sekolah hanya menambahi, kecuali bagi mereka yang murni belajar
agama.
Sekolah hanya sekunder, karena sebagian besar waktu
anak-anak dihabiskan dalam keluarga. Segala perilaku dan cara berfikir dalam
keluarga, baik secara eksplisit maupun implisit, merupakan pendidikan agama.
Memberi teladan atau uswah hasanah termasuk pendidikan agama. Oleh karena itu,
saya kira masyarakat kita sering salah kaprah: bila anak sudah di sekolahkan di
sekolah agama, seolah tugas pendidikan agama sudah selesai. Akibatnya, selalu
saja muncul tuntutan di masyarakat agar jam pendidikan agama ditambahkan. Kalau pendidikan agama ditambahkan sementara
keluarga tidak menjalankan fungsinya, hal itu akan sia-sia.
Kemudian, sementara ini
paradigma yang mau kita kembangkan di IAIN dan UIN, secara umum bertujuan agar
mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi Islam juga mengetahui dan memiliki
kompetensi di dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan modern scienties. Dulu kita
memilki orang semacam Ibnu Sina dan al-Khawarizmi. Mereka pakar dalam ilmu-ilmu
Islam dan juga ilmu-ilmu alam dan matematika. Jadi begitulah kira-kira visi
yang harus kita kembangkan.
Pada dasarnya kurikulum IAIN/STAIN di Indonesia
secara umum sama, meskipun sekarang ini —sesuai dengan kebijakan-kebijakan baru
dalam pendidikan nasional kita, baik yang dirumuskan Diknas maupun Depag— mulai
ada kelonggaran atau otonomisasi untuk mengembangkan kurikulumnya
masing-masing. Jadi mereka juga bisa merumuskan rincian-rincian kurikulumnya
dan muatan lokal, meskipun kerangka dasarnya tetap berada pada lingkungan Depag
dan Diknas. Dengan begitu, IAIN atau STAIN bisa menyesuaikan kurikulumnya
dengan masyarakat dan lingkungannya masing-masing. Penting diingat bahwa
masalah pembaruan kurikulum juga harus menjadi garapan. Tidak hanya kurikulum
pendidikan Islam, tapi memang pendidikan secara keseluruhan, harus diperbaharui
sesuai dengan keadaan dan tantangan zaman. Tentu saja ada hal-hal yang permanen
dalam kurikulum itu.
Pendidikan yang diselenggarakan yayasan-yayasan
pendidikan Islam yang ada selama ini, harus diakui, sudah banyak memberikan
kontribusi. Kita tahu, sejak zaman kolonialisme Belanda, pendidikan Islam
menjadi alternatif. Pada zaman dahulu kalau tidak masuk pendidikan Belanda,
pendidikan Islam yang diselenggarakan pesantren merupakan alternatif lain.
Jadi, kontribusinya sudah sangat besar, meskipun harus kita akui bahwa
pendidikan yang diselenggarakan pihak swasta dari kalangan muslim ini masih
mengalami diskriminasi. Subsidi pemerintah untuk mereka sangat minim. Padahal
yang dididik di situ juga anak-anak bangsa. RUU Sisdiknas (Sistim Pendidikan
Nasional) yang nanti akan ditetapkan menjadi Undang-Undang, tidak lagi
membedakan antara pendidikan negeri dengan swasta. Yang swasta ini, termasuk
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pemerintah berkewajiban
meratakan bantuan. Ini tidak hanya bagi lembaga pendidikan swasta dari kalangan
Islam, tapi juga Kristen, Hindu dan Budha Dalam hal ini, pemerintah harus
memberikan treatment atau perlakuan yang sama. Seharusnya begitu memang, sebab
mereka juga anak-anak bangsa yang tidak berbeda dengan anak-anak bangsa yang
belajar di sekolah-sekolah negeri. Lembaga-lembaga yang diselenggarakan
masyarakat perlu mendapat perhatian.
Islam di sini perlu dilihat
dalam beberapa level. Islam yang murni dan asli bersumber dari Alquran
misalnya, memang mengandung ayat-ayat yang rasional. Tapi di sisi lain, ada
juga yang harus kita pahami secara emosional, atau kita pahami secara begitu
saja tanpa intervensi rasio. Dalam perkembangan Islam selanjutnya, Alquran
ditafsirkan menjadi pemikiran dalam bidang kalam atau fikih. Dari situ,
kemudian ada hasil ijtihad ulama yang tidak rasional. Akhirnya muncul misalnya,
keinginan untuk reinterpretasi terhadap penafsiran Alquran dan hadist yang
mungkin dalam konteks sekarang sudah tidak rasional lagi.
Contohnya dalam kehidupan
sosial politik. Dalam Alquran ada ayat “wa’amruhum syûrâ bainahum”. Syura pada
zaman dahulu ditafsirkan oleh para pemikir Islam seperti al-Mawardi menjadi
syura yang ditujukan untuk kepentingan mendukung absolutisme penguasa. Nah, itu
‘kan tidak rasional dalam konteks sekarang, dan perlu ditafsir ulang.
Yang kedua, yang dimaksud
dengan modernisasi adalah, peserta didik dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam
harus memiliki kemampuan, keterampilan dan ilmu yang dibutuhkan untuk menjawab
tantangan zaman atau kemoderenan. Misalnya mempunyai keahlian, kepakaran,
pemikiran rasional, future oriented dan lain-lain. Integrasi agama dan ilmu
kadangkala menyemburkan harapan agar kita dapat menghasilkan output berupa
ulama yang saintis dan saintis yang ulama.
Dalam Islam sesungguhnya
dikenal dua dimensi ayat: ayat-ayat qauliyah yang langsung bersumber dari
ayat-ayat Alquran dan ada juga ayat-ayat kauniyyah yang bersumber dari
tanda-tanda alam. Saya kira, kaum muslimin wajib mempelajari kedua hal itu.
Tapi, tentu saja harus ada yang menjalani bidang keahlian pokok tertentu. Prof.
Dr. Ahmad Baiquni misalnya, mempelajari ayat-ayat kauniyyah, sehingga menjadi
seorang saintis dan itulah yang menjadi keahlian pokoknya. Tapi keahlian pokok
tadi bisa ditambahkan dengan keahlian tambahan seperti pengetahuan agama
sehingga melengkapi keahlian pokok tadi.
Pendidikan agama itu harus dimulai dari keluarga. Di
samping pengajaran secara verbal, juga perlu uswah hasanah. Jika dalam suatu
pendidikan jamnya ditambah, yang terjadi adalah verbalisme atau penekanan
terhadap hafalan, tapi prakteknya menjadi tidak penting. Masalahnya, yang
dikejar adalah silabus.
Verbalisme itu yang harus
dihindari. Oleh karena itu, pendidikan agama harus di keluarga dan masyarakat.
Keluarga paling pokok. Kemudian sekolah hanya nambah-nambahi. Jangan diharapkan
bila sekolah, misalnya, menambahkan jam pelajaran agama. Itu bukan jaminan.
Dalam konteks kita sekarang,
yang diajarkan tidak hanya sekadar dogma-dogma ritual yang katakanlah
fiqh-oriented, tapi juga wawasan-wawasan keislaman yang lain, termasuk misalnya
wawasan Islam mengenai kemoderenan, kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangsaan.
Jadi, kata kuncinya, seperti yang saya katakan tadi, paradigma pendidikan Islam
adalah integrasi keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Perlu ditambah keindonesiaan
karena kita hidup di Indonesia, tidak di tempat lain. harus kemanusiaan karena Islam itu rahmatan lil
‘âlamîn; tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk umat lain.
Pendidikan sebagai kebutuhan
hidup, memainkan peranan sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga
memandu perjalan umat manuisia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan
negara. Lazim disebut education is the necessity of life as social function, as
growth, as direction. Maka posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang
merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan.
Bukan sekedar kebutuhan
dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga
sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial
seseorang. Sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi
membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan. Dan masa depan selalu
mengalami perubahan yang luar biasa.
Jauh sebelum ahli pendidikan
masa depan Alvin Pufler menegaskan bahwa pendidikan terkait dengan perkembangan
masa depan, Rasulullah Muhammad telah bersabda “Didiklah anak-anakmu sesuai
dengan zamannya, karena mereka adalah anak generasi zaman berbeda dengan zaman
kamu”.
Jadi harus memberikan
hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga
hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup itu terus berlangsung, maka
menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, memanage masa
depan. Oleh karena itu harus terus–menerus diperbaharui, dipertegas dan dipertajam.
Sama dengan orang makan.
Seorang bayi kecil ketika lahir, hanya diberi susu ibu. Kemudian secara
bertahap dikondisikan untuk bisa berkembang. Begitu juga akan hal yang material
dan inmaterial harus terpadu. Kecerdasan juga harus terpadu, yakni kecerdasan
emosi, spritual dan intelektual.
Untuk menjemput masa depan
adalah sebuah proses. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengkondisikan,
baik di tengah keluarga, masyarakat ataupun secara formal di sekolah. Sehingga
sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan sekolah dan di
rumah yang merupakan terminologi pendidikan klasik yang formal. Itu sudah
menyatu, bahkan orang menyebutnya sebagai entity, sudah tidak ada batas. Bahkan
pada jenjang lebih tinggi ada di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan tidak
pernah berakhir, maka lalu ada istilah Life Long Education.
Sebelum itu juga, Rasulullah
Muhammad telah menyampaikan bahwa pendidikan itu dimulai dari bayi sampai liang
lahat. Kemudian muncul istilah belajar sepanjang hayat, life long learning,
pendidikan usia dini, dan sebagainya. Itu istilah-istilah akademis, dalam
prakteknya sudah berjalan. Agar hal itu menjadi sistematis maka dibangunlah
sistem. Sehingga setiap negara membangun sistem pendidikannya. Dan tentu hal
itu semua dikaitkan dengan lingkungan geografisnya, demografisnya, sospol,
agama dan yang lain.
Maka sepanjang pengalamannya
sebagai murid atau juga sebagai guru, selalu saja orang mempertanyakan
bagaimana pendidikan yang tepat untuk sebuah generasi atau satu generasi. Kemudian
dari situ orang melakukan pembaharuan-pembaharuan, ditambah dengan teori-teori
manajemen untuk mencari pemecahan masalah yang efesien, efektif, produktif, dan
berkualitas dengan berbagai penemuan yang kreatif dengan membangun
sekolah-sekolah unggulan.
Bangsa ini juga telah
melahirkan komitmen yang tertuang dalam UUD 45, setiap warga negara berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan bahkan wajib memperoleh pelayanan pendidikan
yang baik.
Karena pendidikan adalah
untuk masa depan yang tidak bisa mudah diprediksikan tentu dengan UUD tersebut
dapat lebih mudah diprediksi. Tentu hal ini memerlukan dukungan fasilitas dan
biaya yang luar biasa besarnya. Sering kita tidak pernah menghitung, karena hal
itu perlu adanya perhitungan secara ekonomis, sehingga lahirlah teori-teori
ekonomi pendidikan yang orang menyebutnya mencari rate of return.
Oleh karena dasar itulah,
bangsa ini berkomitmen menempatkan sebagai wajib, sehingga ada subsidi. Subsidi
pada pendidikan itu juga tidak akan pernah selesai dan tidak pernah mencukupi.
Makanya disebut subsidi. Walau itu tidak berlebih-lebihan juga. Oleh karena itu
jelas bahwa pendidikan itu menjadi tanggung-jawab keluarga, orangtua,
masyarakat dan negara.
Tentu negara-negara yang
kaya memiliki subsidi yang besar di dalam anggaran pendidikannya. Kita tidak
boleh terjebak kepada yang masa kini atau yang telah kita lewati tetap menjadi
pengalaman, tetapi kita harus lebih menatap ke depan. Perubahan akan banyak
terjadi. Perubahan yang terjadi di tahun 1998 hingga sekarang saja hampir kita
tidak pernah bayangkan. Jadi para pendidik seharusnya mengamati dan
memperhatikan masalah itu dengan pendekatan yang terpadu dan komperhensif.
Luar biasa dan mengasyikan
juga. Tapi itu semua harus dilihat kunci utamanya. Kalau dalam terminologi
pendidikan disebut the basic (membaca, menulis, dan berhitung) atau three art
(reading, writing and arimatic) sekarang di perluas dengan kemampuan berbahasa
(bukan hanya kemampuan bahasa Indonesia tetapi juga bahasa asing). Faktor dasar
ini harus menjadi kuat kalau Anda sudah bisa membaca, menulis, berhitung dan
dengan berbahasa yang baik, yang lain hanya tinggal mengikuti saja.
Mengajar the basic-lah yang paling
berat. Bukan hanya SDM guru atau pengajar sekolah dasarnya saja tetapi semua
guru di seluruh jenjang harus ditingkatkan.
Pendidikan itu tidak pernah
berakhir dan tidak pernah berhenti, kita tidak boleh berhenti untuk belajar
berpikir, sehingga ada istilah berpikir dan berpikir kembali. Think and
re-think, Shape dan re-shape. Pendidikan itu harus dipikirkan dan dipikirkan
kembali dan dibentuk dan dibentuk kembali. Seperti sekarang pendidikan dengan
teknologi modern menggunakan pendekatan-pendekatan multi-dimensi.
Sistem pendidikan itu
memiliki dua misi, seperti dua sisi sekeping mata uang, moral dan intelektual.
Moral itu agama, budaya, tradisi, sosial dan yang lain, sedangkan intelektual
adalah kecerdasaan dan ideologi (menyangkut ideologi bangsa dan negara). Maka
setiap negara memiliki bangunan-bangunan yang disebut sebagai sistem. Ada yang
berdasarkan sistem liberal, sistem klasik, sistem nasional. Ada juga
menggunakan sistem agama sebagai bagian ideologi, maka digunakan sistem Islam.
Hampir semua dalam implementasinya tidak banyak jauh berbeda namun masih dapat
dibedakan.
Seperti sekolah yang
menggunakan sistem liberal dengan sistem nasional, tentu ada perbedaanya.
Tetapi semua itu tidak bisa diseragamkan. Tidak tujuan dari pendidikan untuk
menyeragamkan anak. Di sekolah, pakaian seragam bukan bertujuan dan berarti
untuk menyeragamkan anak. Biarpun seragam, namun tiap individu adalah berbeda.
Dalam satu keluarga saja sudah berbeda, apalagi sudah lain bapak dan ibu, lain
suku, lain etnis.
Sangat wajar jika ada
perbedaan-perbedaan pendapat. Oleh karena itu perlu diadakan
pendekatan-pendekatan mengenai konvensi. Tetapi bukan berarti tidak ada ada
pro-kontra. Pro-kontra selalu ada. Di dalam demokrasi pasti ada kesepakatan,
walaupun tidak bulat, sudah berarti sepakat. Akhirnya implementasinya juga akan
diatur dalam peraturan pemerintah. Tetapi namanya zaman sekarang sudah cair,
ketika rancangan UU No. 2 saja pernah ramai, apalagi sekarang.
Departemen pendidikan
diposisikan sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab untuk mencetak
generasi penerus bangsa. Sementara hingga saat ini, pendidikan bangsa ini masih
dinilai tertinggal. Ketertinggalan atau kegagalan pendidikan itu pula disebut
sebagai penyebab utama rontoknya bangsa ketika menghadapi krisis multidimensi.
Lebih prihatin lagi, manakala korupsi di Depdiknas sudah membudaya.
Pendidikan islam pada masa
kini sebagaimana disebutkan diatas tadi mengalami berbagai polemik dan masalah
yang membutuhkan pemecahan dan solusi. Hendaknya pendidikan islam pada masa
kini berorientasi pada tujuan pendidikan yaitu membentuk insan kamil dan juga
berusaha membangun pembangunan dalam segala bidang. Dan juga pendidikan islam
pada zaman sekarang banyak mendapatkan tantangan dari para orientalis, dan
banyak pendidikan yang sistemnya menggunakan sistem barat yang hal itu tidak
menghargai nilai-nilai islami.
BAB III
PENUTUP
Jika kita melihat kondisi pendidikan islam
sekarang kita dapat melihat pendidikan islam yang terjadi di negara kita,
sebelum kita melihat lebih jauh kita uraikan islam yang berkembang dan terjadi di Indonesia. Islam yang ingin kita kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan
modernitas. Karena, kalau kita berbicara masalah modernitas, maka syaratnya
adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap perbedaan,
berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke
belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti
inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan
Islam. Pada masa sekarang hal inilah yang perlu kita kembangkan agar pendidikan
islam dapat bersaing dengan yang lainnya.
No comments:
Post a Comment